Resensi oleh: Tofan Mahdi*

“Dekatilah teman-temanmu, namun lebih dekati lagi musuh-musuhmu!”

Jika Anda penikmat film, pasti hafal luar kepala dengan ungkapan penuh makna filosofis di atas. Ya, kalimat itu adalah salah satu petikan dialog dalam film The Godfather garapan sutradara Francis Ford Coppola. Sebuah dialog –lebih tepat disebut sebagai pesan– seorang ayah Vito Carleone kepada salah seorang anaknya, Michael Carleone, yang dipercaya meneruskan imperium “bisnsis” sang godfather. Bagi Vito, ketika kekuatan musuh sudah mulai seimbang, jalan kompromi akan lebih menyelamatkan daripada konfrontasi terbuka. 
Dalam dunia bisnis kontemporer, banyak ditemukan perusahaan-perusahaan yang tetap mampu bertahan di tengah gempuran persaingan. Bahkan, perusahaan-perusahaan ini menjadi lebih maju ketika tidak lagi menjadi pemain tunggal di pasar. Namun, pada saat yang sama, banyak juga perusahaan yang lebih dulu eksis ternyata tumbang dihantam badai persaingan.
Mengapa banyak yang tumbang, mengapa pula ada yang tetap bertahan dan justru menjadi besar? Rhenald Kasali, pakar manajemen dari Universitas Indonesia, memiliki satu kata sebagai jawabannya: change (berubah). Perusahaan-perusahaan tetap eksis di saat derasnya arus persaingan, bahkan bertahan di tengah gempuran krisis ekonomi, karena mereka sadar dan mau untuk berubah. Perubahan seringkali dilakukan sangat evolusioner (perlahan-lahan), tetapi ada juga yang berubah dengan sangat cepat. Prinsipnya –seperti sub judul buku yang sudah masuk cetakan kedua hanya dalam empat bulan itu– seberapa jauh kita salah melangkah, putar arah sekarang juga.
Sebagai akademisi sekaligus praktisi di bidang manajemen, penulis buku ini tidak sekadar memaparkan panjang lebar tentang teori-teori perubahan. Lebih dari itu, ada contoh-contoh konkret bagaimana sebuah perusahaan berubah. Misalnya sukses manajemen perubahan korporasi yang cukup spektakuler: Excelso. 
Excelso, sebagian (besar) orang pasti menduga merupakan brand asing seperti halnya Starbucks dan Coffee Bean & Tea Leaf. “Bahkan, Rini Soewandi (saat itu masih menjabat Menperindag, Red.) juga mengira Excelso dari luar negeri,” cerita Pranoto Sunoto, general manager PT Excelso Multi Rasa (EMR) dari Grup Kapal Api. 
Wajar saja orang keliru menduga Excelso adalah kedai kopi dari luar negeri. Apalagi jika pernah berjalan-jalan ke Shanghai, di sana orang juga bisa ketemu Excelso. Image sebagai brand asing ini boleh dibilang sebagai sukses manajemen Excelso yang sengaja memunculkan citra internasional dari gerainya. Sukses Excelso di pasar internasional berarti pula mengangkat produk utamanya kopi Kapal Api. 
Dorongan membuat kopi juga dipicu kenyataan Grup Kapal Api menguasai bahan mentah kopi. Grup Kapal Api, dalam catatan AC Nielsen, merupakan pemimpin pasar kopi eceran. Apalagi, kabarnya pemilik Grup Kapal Api dikenal dekat dengan para pengusaha dan petani kopi di sejumlah daerah di Indonesia seperti Toraja dan Jawa.
Perubahan langkah yang dilakukan Grup Kapal Api dari sekadar penjual kopi eceran melirik bisnis kedai kopi melihat kenyataan di luar negeri. Di negara-negara maju, minum kopi di coffee shop sudah menjadi bagian gaya hidup sehingga bisnis resto kafe menjamur.
Sukses Excelso (Grup Kapal Api) hanyalah salah satu korporasi yang dijadikan ilustrasi mengenai manajemen perubahan. Selain Excelso, juga ada Sido Muncul, Garuda Indonesia di tangan Robby Djohan, General Electric di bawah kepemimpinan Jack Welch, Robert Noyce dan Intel, Jorma Olila di Nokia, hingga sukses Marzuki Usman mengembangkan industri pasar modal di Indonesia.
Berubah, baik bagi individu maupun perusahaan adalah sebuah keniscayaan. Inilah siklus hidup yang harus dilalui bagi setiap entitas agar dapat tetap bertahan dan melanjutkan proses kehidupan. Setiap entitas pasti berubah. Yang membedakan hanya derajat kepekaan dari masing-masing terkait kapan saat untuk berubah. 
Dan, perubahan adalah siklus kehidupan. Hanya mereka yang mampu melakukan adaptasi dengan perubahanlah yang mampu bertahan melewati setiap siklus kehidupan tersebut. Bila Anda seorang pemilik perusahaan, pimpinan eksekutif perusahaan, manajer di level menengah, atau sekadar karyawan, mulailah melatih kepekaan untuk menangkap sinyal perubahan.
Dalam buku yang nyaris tanpa cela untuk kritik ini, Rhenald Kasali menuntun pembaca kapan dan dari mana harus memulai perubahan. Jika telah menemukan momentum untuk berubah, manajemen perubahan seperti apa yang harus diterapkan, sebelum kemudian menikmati pesta perubahan dan kemudian mengelola harapan.
Namun, harapan akan perubahan bukannya tanpa ancaman. Di bab terakhir buku ini, Rhenald menuliskan beberapa poin krusial yang harus diwaspadai, yaitu terkait mitos-mitos perubahan. 
Mitos kesatu: perubahan selalu ditandai dengan kehidupan yang lebih baik. Padahal setiap perubahan menuntut pengorbanan.
Mitos kedua, perubahan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang muda. Namun ingat, nama-nama seperti Simon Perez, Michael Gorbachev, dan Tjiang Kai Sek, melakukan perubahan justru ketika usia mereka sekitar 50-60 tahun.
Mitos ketiga, perubahan hanya dilakukan kalau ada masalah serius, padahal perubahan harus dilakukan setiap saat. Mitos keempat: generasi yang ada saat ini hanyalah untuk melanjutkan apa yang dirintis pendahulunya. Seseorang diangkat menggantikan pemimpin yang lama bukan untuk status quo, tetapi menciptakan suatu perubahan.
Mitos terakhir, perubahan berarti PHK. Ini tidak tepat karena -seperti dalam kasus Citibank– mengalami pertumbuhan jumlah SDM lantaran mereka melakukan perubahan dari waktu ke waktu.
Tidak perlu menunggu waktu untuk berubah. Yang penting adalah kemauan untuk berubah. Seperti kata pepatah, “He who loses wealth loses much, he who loses a friend loses more; but who loses his courage loses all.” [] 
*) Tofan Mahdi, redaktur Jawa Pos dan mahasiswa Program Studi Magister Akuntansi Pascasarjana Universitas Airlangga.
Call Number: 658.405 Kas c
Rhenald Kasali. 2007. Change!. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama